Para shahabat dan orang-orang setelah mereka, sangat bersemangat dalam mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan sampai-sampai di antara mereka ada yang takut kalau meninggalkan sedikit saja dari perintah Rasulullah, maka dia akan menyimpang. Berkata Abu Bakr Ash-Shiddiq, “Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku melakukannya dan sesungguhnya aku benar-benar takut kalau aku meninggalkan sedikit saja dari perintah beliau maka aku akan menyimpang.” (Al-Ibaanah, Ibnu Baththah 1/246, diambil dari Ta’zhiimus Sunnah hal.24)
Berikut ini salah satu contohnya:
Al-Imam Muslim berkata, “Telah memberitahukan kepada kami Muhammad bin Abdillah bin Numair, telah memberitahukan kepada kami Abu Khalid (yakni Sulaiman bin Hayyan) dari Dawud bin Abi Hind, dari An-Nu’man bin Salim, dari ‘Amr bin Aus dia berkata, telah memberitahukan kepadaku ‘Anbasah bin Abi Sufyan di waktu sakitnya yang menyebabkan kematiannya, dengan suatu hadits yang dia menyampaikannya dengan suara berbisik-bisik, dia berkata, aku mendengar Ummu Habibah berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Berikut ini salah satu contohnya:
Al-Imam Muslim berkata, “Telah memberitahukan kepada kami Muhammad bin Abdillah bin Numair, telah memberitahukan kepada kami Abu Khalid (yakni Sulaiman bin Hayyan) dari Dawud bin Abi Hind, dari An-Nu’man bin Salim, dari ‘Amr bin Aus dia berkata, telah memberitahukan kepadaku ‘Anbasah bin Abi Sufyan di waktu sakitnya yang menyebabkan kematiannya, dengan suatu hadits yang dia menyampaikannya dengan suara berbisik-bisik, dia berkata, aku mendengar Ummu Habibah berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa shalat dua belas raka’at dalam sehari semalam, akan dibangunkan untuknya satu rumah di jannah (surga).”
Ummu Habibah berkata, “Maka aku tidak meninggalkan dua belas raka’at tersebut semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
‘Anbasah berkata, “Maka aku tidak meninggalkan dua belas raka’at tersebut semenjak aku mendengarnya dari Ummu Habibah.”
‘Amr bin Aus berkata, “Aku tidak meninggalkan dua belas raka’at tersebut semenjak aku mendengarnya dari ‘Anbasah.”
An-Nu’man bin Salim berkata, “Aku tidak meninggalkan dua belas raka’at tersebut semenjak aku mendengarnya dari ‘Amr bin Aus.”
Shalat rawatib dua belas raka’at ini dijelaskan dalam riwayat At-Tirmidziy, “Empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah ‘isya dan dua raka’at sebelum shalat fajar/shubuh.” (HR. At-Tirmidziy 5/4 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy, lihat Subulus Salaam 2/516 – Daarul Fikr)
Sikap Salafush Shalih terhadap Sunnah Nabi
Lihatlah bagaimana sikap Salafush Shalih ketika mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Begitu semangatnya mereka dalam melaksanakan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun hukumnya tidak wajib, yakni sunnah mu`akkadah (sunnah yang ditekankan), mereka tetap bersemangat melaksanakan sunnah-sunnah tersebut. Apalagi ketika mendengar pahala yang akan didapatkan oleh orang yang melaksanakannya.
Lihatlah ucapannya Ummu Habibah (istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ‘Anbasah (muridnya Ummu Habibah), ‘Amr bin Aus (muridnya ‘Anbasah) dan An-Nu’man bin Salim (muridnya ‘Amr bin Aus)! Mereka semuanya mengatakan setelah mendengar hadits tersebut, “Aku tidak meninggalkan shalat dua belas raka’at tersebut semenjak mendengar hadits ini.”
Mereka adalah Salaful Ummah, pendahulu ummat ini yang shalih, yang kita diperintahkan mengikuti jejak mereka. Maka alangkah baik dan pantas bagi kita untuk mengatakan, “Maka aku pun tidak akan meninggalkan shalat dua belas raka’at tersebut setelah mendengar hadits ini, insya Allah.”
Faidah Mengamalkan Sunnah
Di antara faidah mengamalkan sunnah adalah menghidupkan sunnah tersebut di tengah-tengah masyarakat. Ketika masyarakat sudah mulai melalaikan dan meremehkan sunnah-sunnah, akan tetapi kita melaksanakannya di tengah-tengah mereka, berarti kita menghidupkan sunnah tersebut.
Faidah lainnya adalah menyempurnakan kekurangan yang ada di dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amalan manusia yang pertama kali yang akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah shalat.” Rasulullah bersabda, “Rabb kita ‘Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikatNya dan Allah lebih tahu (tentang keadaan hamba-hambaNya, pent.)-, “Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah sempurna atau kurang? Maka jika shalatnya sempurna, ditulislah untuknya satu kesempurnaan, dan apabila shalatnya ada yang kurang walaupun sedikit, maka Allah berfirman, “Lihatlah apakah hamba-Ku mempunyai amalan sunnah? Maka jika dia mempunyai amalan sunnah, maka Allah berfirman, “Sempurnakanlah untuk hamba-Ku amalan wajibnya dengan amalan sunnahnya.”
Kemudian zakat pun demikian, dan amalan-amalan lainnya pun demikian.” (Yakni jika dalam melaksanakan kewajibannya ada kekurangan maka dilihat kepada amalan sunnahnya, pent). (Shahih, HR. Abu Dawud no.864 dan lain-lain, lihat Subulus Salaam 2/514 – Daarul Fikr, dan Dharuuratul Ihtimaam bis Sunanin Nabawiyyah hal.47)
Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwasanya melaksanakan kewajiban sebagaimana yang Allah inginkan adalah sangat sulit dilakukan dan kebanyakan manusia tidak sempurna dalam melaksanakannya. Dikarenakan amalan mereka itu tidak kosong dari kekurangan. Seperti tidak khusyu’ dan tidak thuma`ninah ketika shalat. Berkata yang sia-sia, ghibah dan mengadu domba ketika melaksanakan puasa. Berdebat dan berbuat sesuatu yang fasik ketika melaksanakan haji, dan seterusnya. Maka semuanya ini dan yang semisalnya akan menjadikan seorang hamba berhak untuk dihukum dan akan mengurangi pahala amalan wajibnya.
Kendatipun demikian, Allah ‘Azza wa Jalla dengan keutamaan-Nya yang banyak dan rahmat-Nya yang luas telah mensyari’atkan bagi hamba amalan yang akan menyempurnakan kekurangan ini dan yang akan menutupi cela-celanya. Yang demikian ini bisa tercapai dengan melaksanakan amalan-amalan sunnah. Tidaklah pantas bagi orang yang berakal setelah mendengar keterangan ini- meninggalkan dan menghindari amalan-amalan yang akan menyempurnakan dan melengkapi kewajibannya, serta akan mendekatkannya kepada keridhaan Rabbnya. (Lihat Dharuuratul Ihtimaam bis Sunanin Nabawiyyah hal.47-48)
Bukti Cinta kepada Allah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’.” (Aali ‘Imraan:31)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalau kita mengaku cinta kepada Allah, maka kita harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu mengikuti sunnah-sunnah beliau.
Tidak ada artinya sama sekali kalau seseorang mengaku-aku cinta kepada Allah akan tetapi amalannya tidak mengikuti Rasulullah bahkan dia beramal dengan berbagai kebid’ahan bahkan kesyirikan dan kekufuran, nas`alullaahas salaamah (kita memohon kepada Allah keselamatan).
Betapa banyak orang yang mengaku-aku cinta kepada Allah, akan tetapi Allah tidak mencintainya. Orang-orang yahudi, nashara, orang-orang shufi, para penyembah kuburan, para penyembah ilmu filsafat dan golongan-golongan sesat lainnya, apakah Allah mencintai mereka?!?
Sungguh indah perkataan sebagian ‘ulama Salaf, “Sesungguhnya perkara itu bukan bagaimana engkau mencintai akan tetapi bagaimana agar engkau dicintai.”
Memang kita diperintahkan untuk mencintai Allah, akan tetapi jangan sampai hanya sekedar pengakuan belaka tanpa bukti. Bahkan yang paling penting adalah kita harus berusaha supaya Allah mencintai kita.
Untuk mendapatkan kecintaan Allah tentunya kita harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni mengikuti sunnah-sunnah beliau, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Dan perlu kita ketahui bahwasanya yang dimaksud sunnah adalah apa-apa yang disandarkan kepada beliau, baik ucapan, perbuatan, taqrir/persetujuan dan sifat beliau. Yang meliputi aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Ada yang sifatnya wajib dan ada yang sunnah/mustahab. Yang wajib berarti harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sedangkan yang sunnah, semaksimal mungkin dilaksanakan.
Bahkan ulama yang lain menyatakan lebih luas lagi, yakni sunnah adalah beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, mengikuti Salafush Shalih dan mengikuti atsar.” (Al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah 2/428, diambil dari Ta’zhiimus Sunnah hal.18)
Berkata Al-Imam Al-Barbahariy, “Ketahuilah bahwasanya Islam adalah sunnah dan sunnah adalah Islam, dan tidak akan tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya.” (Syarhus Sunnah no.1 hal.65). Artinya kalau kita melaksanakan sunnah-sunnah beliau secara keseluruhan, maka itulah Islam. Karena tidak ada yang beliau bawa kecuali Islam dan itulah sunnah beliau.
‘A`isyah pernah ditanya, bagaimana akhlaknya Rasulullah, maka dia menjawab, “Akhlaknya adalah Al-Qur`an.” Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna telah melaksanakan semua isi Al-Qur`an. Yang dibawa oleh beliau adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan itulah sunnah beliau dan itulah Islam.
Untuk bisa mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnah beliau, maka kita harus menuntut ilmu, rajin menghadiri majelis ilmu. Jangan lemah dan bermalas-malasan dalam menghadiri majelis ilmu. Jangan merasa malu untuk menuntut ilmu dan jangan merasa sombong sehingga tidak mau menuntut ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut ilmu itu sangat wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiihul Jaami’ no.3808)
Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnah beliau agar menjadi orang-orang yang dicintai oleh Allah, aamiin.
(Sumber : disadur dan diringkas dari tulisan “Menghidupkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, Bulletin Al Wara’ Wal Bara’ , Edisi ke-40 Tahun ke-3 / 09 September 2005 M / 05 Sya’ban 1426 H)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan